Esay Budaya  (La Ode Rabani)

MAKNA MITHOS La Ndoke–Ndoke Te Manu
Dalam  Masyarakat  Buton dalam Perspektif Hermeunetik


Pengantar
Kajian mengenai makna mitos dalam perspektif hermeunetik belum banyak dilakukan oleh para peneliti. Kalaupun ada, kebanyakan dalam perspektif struktural seperti yang telah dilakukan oleh Antropolog Prancis, yakni Lévi-Strauss dan Heddy Shri Ahimsa Putra yang mengalisis mengenai Mitos Orang Bajo. Dalam studi mereka, nampak sekali bagaimana mithos terbukti membantu kita dalam memahami konteks sosial kultural suatu masyarakat. Tidak heran, jika mithos pada akhirnya menjadi penting artinya dalam memahami kondisi sosial budaya suatu masyarakat, termasuk dalam hal ini mengenai mithos orang Buton yang hingga saat ini masih dikenal oleh masyarakat setempat.

Dalam tulisan ini akan digunakan perspektif hermeunetik. Seperti diketahui bahwa hermeunetik adalah proses penafsiran terhadap makna suatu teks, dalam hal ini teks yang telah didokumentasi oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hal yang menarik adalah karena tulisan semacam ini, belum banyak ahli yang melakukan interpretasi terhadap makna yang dikandung oleh suatu mithos, terutama di Indonesia. Penelitian mengenai Makna Mithos orang Bajo itu telah membuka cakrawala kita bahwa mithos ternyata bisa menjadi pembenar dan mampu merekonstruksi situasi sosial di masa lampau melalui cerita rakyat yang dituturkan secara turun-temurun[1].

Cerita ini tidak diketahui secara pasti kapan mulai dituturkan. Namun, berdasarkan dugaan, mithos ini telah lama dituturkan oleh masyarakat Buton. Dalam banyak literaratur, terutama buku-buku yang berhubungan dengan sejarah Buton, nampak bagaimana konflik dan adaptasi (baca: persahabatan) yang dilakukan oleh Kerajaan Buton pada abad ke-17 sampai awal abad ke-20.

Penafsiran terhadap cerita ini akan didekati dari konsep bahasa dan simbolik dalam konteks situasi sosio-historis masyarakat Buton. Hal ini didasari oleh pemikiran bahwa, studi terhadap mithos berarti studi tentang kelampauan mengenai masyarakat yang melahirkan mithos tersebut. Demikian pula interpretasi terhadapnya harus didekati melalui kondisi sosio-historis masyarakat pendukungnya, karena mithos diceritakan dengan sistem turun-temurun.

Latar Belakang dan Permasalahan  
Anggapan bahwa Mithos atau dongeng adalah sebuah ceritera yang aneh dan tidak masuk akal telah membuat banyak peneliti tidak berminat pada aspek ini, padahal dibalik sebuah cerita ada hal yang tersirat dan ada hal yang tersurat. Disinilah ilmu hermeunetik diperlukan untuk mengungkap makna di balik suatu cerita itu lewat bahasa atau kata-kata, karena kata-kata yang ada dalam cerita itu adalah juga sebuah simbol yang terkandung dalam mithos tersebut[2]. Menurut Ricoeur, setiap kata adalah sebuah simbol, sehingga tujuan dari hermeunetik adalah menghilangkan misteri yang ada dalam simbol dengan cara membuka selubung yang belum diketahui dan tersembunyi di dalam simbol-simbol tersebut.[3] Dalam kaitan itu, terutama dalam memahami mithos Heddy Shri Ahimsa Putra, mengatakan bahwa; “mithos seringkali sulit dipahami maknanya atau diterima kebenarannya, karena kisah di dalamnya dianggap tidak masuk akal atau tidak sesuai dengan realitas yang pernah terjadi. Akan tetapi bagi masyarakat pendukungnya, mithos adalah sesuatu yang dipercaya, mempunyai makna, dan diyakini kebenarannya”.[4]

Sering kali kita menemukan cerita-cerita yang kadang-kadang tidak masuk akal dalam berbagai naskah kerajaan seperti di Jawa, Aceh, dan daerah-daerah lainnya. Babad tanah Jawi, Serat Centini, Babad Blambangan, Hikayat Hang Tuah, dan sebagainya telah menunjukkan kepada kita, bagaimana berbagai kotradiksi di dalamnya tidak mudah dipahami tanpa ada penafsiran dengan menggunakan perangkat teoretis tertentu atau dalam ilmu antropologi dinamakan dengan bahan-bahan etnografis yang memadai. Hanya dengan penafsiran terhadap makna dan struktur dari cerita itulah makna dan simbol yang dikandung dalam teks atau cerita babad itu dapat dipahami. Hikayat Hang Tuah, misalnya, telah dipercaya oleh masyarakat Melayu sebagai warisan nenek moyang yang harus dijunjung tinggi, sebagai naskah yang harus dipercaya kebenaran sakralnya.

Oleh karena itu, mithos sering dianggap sebagai sumber legitimasi bagi kekuasaan atau pada suatu kebiasaan tertentu dalam suatu masyarakat. Padahal, masyarakat kebanyakan tidak mengetahui sebab-sebab kelahiran atau proses terjadinya suatu mithos[5].

Dunia mithos adalah dunia simbol. Barangkali inilah yang menyebabkan banyak ilmuan Indonesia belum banyak yang melakukan penelitian terhadapnya[6]. Ilmuan Barat yang berminat pada teks-teks kuno telah lama menekuni berbagai mithos yang dikumpulkan dari berbagai suku bangsa di dunia. Hasil dari kajian tentang mithos telah berkembang sedemikian jauh, sehingga hasil dari usaha itu telah menghasilkan teori (Cohen, 1969; Dundes, 1984; dan Claude Lévi-strauss, 1963)[7]. Meskipun demikian, studi terhadap mithos tidak pernah berhenti, tetapi malah makin berkembang sehingga telah melahirkan teori dan model-model penafsiran baru tentang mithos. Teori baru  yang berusaha memberikan kerangka pemahaman dan penafsiran yang lebih utuh masih terus bermunculan, dan studi mithos terakhir yang agak lengkap datang dari seorang ahli Antropologi strukturalisme berkebangsaan Prancis, yakni Claude Lévi-Strauss. Menurut Claude Lévi-strauss, mithos pada dasarnya mirip dengan bahasa. Mithos mengandung aspek “langue” dan “parole”, aspek diakronis dan singkronis, aspek paradigmatis dan sintamagtis, dan di dalamnya terdapat relasi-relasi. Aspek langue dari mithos dapat dilihat pada kenyataan bahwa ada struktur tertentu di balik mithos, seperti halnya pada tata-bahasa di balik suatu bahasa. Aspek parolenya tampak dari kenyataan bahwa mithos itu masih diceritakan secara berbeda-beda, namun mirip satu sama lain[8], oleh pencerita yang berbeda[9].

Bahasa telah mengantarkan mithos itu yang terjadi di masa lampau tetap relevan untuk masa kini, minimal pada masyarakat pendukungnya, sehingga menunjukan aspek singkronis dari mithos itu pada masa kini.  Mithos ini terjadi di masa lampau melalui dimensi waktu, sehingga gambaran mithos itu pada masa kini, berarti telah menunjukan aspek diakronisnya[10].

Permasalahan yang akan diangkat dalam makalah ini adalah mencoba mengungkap makna dari salah satu kisah atau cerita rakyat di kalangan masyarakat Buton (Butun), Propinsi Sulawesi Tenggara. Singkatnya, apakah makna dari mithos yang terjadi di masa lampau itu dalam masyarakat Buton. Dengan menggunakan perspektif hermeunetik seperti yang telah ditunjukan dalam buku E. Sumaryono dan juga Paul Ricoeur yang memberikan pengertian bahwa hermeunetik adalah sebuah metode untuk memahami makna dan menafsirkan simbol dalam suatu teks dari dalam. Seperti disebutkan di atas, bahwa dalam setiap kata pada suatu mitos merupakan simbol yang harus dibongkar misterinya, sehingga makna yang terkandung dari suatu mitos dapat dipahami termasuk konteks sosial kultural dari suatu masyarakat yang melahirkan dan menuturkan mithos tersebut.

Dewasa ini, kajian mengenai Buton memang telah banyak mendapat perhatian, mulai dari skripsi, tesis, sampai dengan disertasi. Akan tetapi, kajian itu  hanya bertitik tolak pada sejarah dan arkeologi. Sedangkan kajian Antropologi belum banyak dilakukan. Jarang sekali kajian mengenai budaya Buton secara khusus. Mithos misalnya, jarang sekali seorang peneliti menggunakan cerita rakyat sebagai sumber atau mengkaji mithos sebagai hasil dari kerja manusia yang juga sebagai sebuah proses budaya yang dihasilkan masyarakat setempat dari hasil kerja kolektif. Oleh karena itu, tulisan ini mencoba mengisi kekosongan itu. Tentu saja tulisan ini baru awal dari sebuah usaha untuk memulai, sehingga sangat mungkin akan banyak celah yang masih perlu penyempurnaan. Meskipun demikian, tulisan ini diharapkan menjadi awal bagi pengkajian selanjutnya.

Di sini akan dijelaskan ceritera yang hidup dalam masyarakat Buton yang muncul karena berbagai persoalan hidup sehari-hari masyarakat Buton yang tentu saja, cerita itu memuat pesan atau makna tersendiri melalui komunikasi simbolik melalui bahasa yang terkandung dalam cerita itu.

Selain itu, tulisan ini diusahakan dapat mengungkap makna yang terkandung dalam mithos itu, kemudian dianalisis sejauh mungkin, berdasarkan konteks masyarakat Buton beserta kondisi sosial ekonomi dan politik masyarakat pada waktu itu (dalam perspektif historis) yang diduga sebagai cikal bakal lahirnya mithos ini. Hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa mithos tidak hanya sekedar cerita tanpa arti, namun sebagai suatu kisah, maka mithos seringkali sebagai ungkapan simbolis dari konflik-konflik bathin yang ada dalam suatu masyarakat, serta menjadi sarana untuk mengelakan, memindahkan, dan mengatasi kontradiksi-kontradiksi yang tidak terpecahkan oleh masyarakat. Lebih penting dari itu adalah apa pesan atau makna di balik dunia simbolik mithos tersebut.

     Makalah ini tersaji dari hasil studi pustaka. Oleh karena itu analisis yang dilakukan dalam makalah ini hanyalah berdasarkan pengetahuan pustaka dan pengamatan penulis sebagai bagian dari masyarakat Buton, kemudian akan dianalisis dengan metode hermeunetik atas simbol yang terkandung dalam mithos tersebut dengan tidak mengabaikan seting historis masyarakat, karena lahirnya mithos ini terkait erat dengan proses perjalanan sejarah masyarakat Buton secara umum dalam konteks kelampauan yang masih hadir pada masa kini.

 
B.              Mithos dan Antropologi Struktural  

Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa makalah ini akan menggunakan model analisis struktural dari Lévi-Strauss. Menurut Claude Lévi-strauss studi Antropologi struktural tidak hanya diterapkan pada sistem kekerabatan, tetapi juga pada masalah totemisme dan mithos[11].

Mithos yang ditulis bersamaan dengan konteks sosial budaya suatu masyarakat, biasanya dilakukan oleh ahli Antropologi seperti dalam upacara ritual yang dilegitimasi oleh mithos tersebut. Ini dilakukan untuk memahami makna mithos  dengan lebih baik. Analisis yang biasa digunakan untuk menelaah makna dari mithos  itu adalah dengan memakai konteks sosial yang bersifat fungsional dan dalam hal ini teori Malinowski[12] bahwa mithos merupakan “social caracter” biasanya dapat diterapkan  dengan  mudah.

Sering kali, peneliti justru mendapatkan mithos secara sepotong-sepotong. Dalam kondisi ini, peneliti juga sudah tidak tahu siapa pembuat dari mithos ini, sehingga mithos atau ceritera itu ketika sampai kepada peneliti sudah terlepas dari konteks sosialnya dan konteks penceritaannya. Untuk dapat memahami mithos seperti ini pada umumnya, pendekatan struktural yang diperkenalkan oleh Lévi-Strauss akan banyak membantu dan mampu membuka dimensi-dimensi baru dalam memahami makna mithos tersebut.

Untuk memahami sebuah mithos yang tumbuh dalam masyarakat dengan perspektif analisis struktural, maka perlu dipahami juga kebudayaan dari masyarakat itu secara baik. Dengan pengetahuan etnografis yang memadai,  elemen-elemen yang dikandung oleh mithos itu dan berbagai relasinya akan dapat diungkap dan dipahami. Sebagai gambaran dapat kita melihat kisah Bimasakti dan Pelangi yang melambangkan kehidupan dan kematian, yang tentu saja sebagai bagian dari makna simbolis dari suatu masyarakat yang diwakilinya.

Makalah ini akan melihat mithos masyarakat Buton dengan beberapa asumsi, diantaranya adalah; pertama, bahwa mithos ini mempunyai makna dan pesan-pesan simbolik tertentu yang akan disesuaikan dengan perjalanan sejarah negeri Buton yang berada pada posisi silang jalur perdagangan nusantara abad ke-16 sampai pada awal abad ke-20. Ini dilakukan karena pembuat mithos tidak diketahui lagi, meskipun mithos itu dipahami bahwa pembawanya adalah nenek moyang dari masyarakat Buton sendiri. Biasanya penciptaan mithos selalu disertai dengan pengolahan secara halus dan penuh makna simbolis dengan maksud agar lebih mudah diingat, sehingga pesan-pesan yang ingin disampaikan sampai kepada keturunannya.

Kedua, dalam penafsiran akan diasumsikan bahwa hasil dari penafsiran penulis dianggap sejajar dengan makna yang terkandung dalam mithos itu sesuai dengan yang ingin disampaikan oleh penciptanya. Paling tidak, sama kedudukannya dengan yang ditafsirkan oleh penutur/pencipta mithos itu. Selanjutnya, mithos akan ditanggapi sebagai fenomena kebahasaan, karena lewat media komunikasi bahasalah mithos itu sampai pada kita secara turun-temurun. Apabila mithos ditanggapi sebagai fenomena kebahasaan, maka dengan sendirinya prosedur atau cara kerja  dalam ilmu bahasa dapat digunakan untuk menganalisis mithos. Dengan pandangan seperti itu, ternyata Lévi-Strauss telah berhasil memakai ilmu bahasa dalam menganalisis mithos, dalam hal ini analisis linguistik struktural[13].

 
C.              Kehidupan Masyarakat Buton dan Alamnya Asal usul nama Buton perlu diterangkan karena berbagai versi yang kita kenal. Setidaknya, ada empat pengertian mengenai nama Buton (Butun). Pertama, nama yang diberikan sebagai sebuah pulau, kedua nama untuk kerajaan atau kesultanan, ketiga, nama untuk sebuah kabupaten, dan keempat, nama untuk menyebut orang Buton.

Nama Buton sebagai kerajaan diperkirakan telah ada sebelum Majapahit menyebutnya sebagai kerajaan taklukannya. ketika kakawin negarakertagama (1563) mengungkap nama Butun yang disebut bergandengan dengan Banggawi (sekarang Banggai di Sulawesi Tengah). Daerah itu tentulah sudah berpenghuni dan lebih dari itu sudah ada suatu tatanan sosial dan politik. Selain Butun, nama Wolio juga diletakan pada nama kerajaan yang sama. Wolio adalah suatu nama yang berkaitan dalam rangka pembentukan pemukiman itu. Dalam pembentukan pemukiman itu disebut-sebut dalam suatu mithos, bahwa Wolio dibuka oleh para migran dari Johor yang terdiri dari empat orang (Masyarakat setempat menyebutnya dengan Mia Patamiana atau orang empat)[14].

Masuknya Islam di Buton dijadikan alat legitimasi dengan terciptanya mithos baru. Dalam mithos itu, Buton dianggap berasal dari bahasa arab yaitu, batn atau bathni atau bathin yang berarti perut atau kandungan. Dengan demikian, jika nama Buton mengacu pada keutuhan pulau, maka nama wolio mengacu pada suatu tempat yang menjadi pusat pemukiman atau pemerintahan yang dikelilingi benteng. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa di Woliolah keraton berdiri hingga sekarang, itu berarti bahwa pusat pengendalian kekuasaan ada di Wolio. Dalam perkembangan sistem pemerintahan sekarang, Buton adalah nama sebuah kabupaten di wilayah Propinsi Sulawesi Tenggara bersama tiga kabupaten lainnya.

Wilayah Buton dimasa lalu adalah meliputi wilayah sulawesi Tenggara pada masa kini dengan batas-batas sebagai berikut. Di sebelah selatan berbatasan dengan propinsi sulawesi Selatan. Di utara berbatasan dengan sulawesi Tengah dan di Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Banda. Sementara untuk sebelah barat berbatasan dengan teluk Bone. Wilayah Buton mencakup 38.140 km2 daratan dan 110.000. km2 wilayah perairan. Ini berarti hampir 3 kali lipat dari luas wilayah daratan[15].

Keadaan alam di Buton pada umumnya tidak subur karena sebagian besar wilayahnya terdiri dari batu karang. Yang dapat tumbuh di wilayah ini adalah jenis tanaman umbi-umbian dan jagung.

Masyarakat Buton dapat dilihat pada segi etnis, bahasa, kehidupan ekonomi, dan keadaan sosial. Penyebutan Buton sebagai hal yang umum dan sebagai sebuah kelompok sosial sebenarnya tidak tepat, karena mereka yang mendiami wilayah kesultanan Buton merupakan penduduk yang beragam[16]. Penduduk Buton sangat beragam asal usulnya, antara lain dari Toraja, Bugis, Makassar. Penduduk Buton sendiri dapat diklasifikasikan menjadi lima kelompok besar, yaitu orang moronene yang mendiami Poleang dan Rumbia, orang Muna yang mendiami pulau Muna, penduduk yang mendiami Pulau Kabaena, dan Orang yang mendiami wilayah Kepulauan Tukang Besi. Oleh karen itu, benar apa yang dikemukakan oleh de Jonge bahwa kelompok sosial di Buton sangat sulit dirumuskan sebagai orang Buton karena dari segi bahasa berbeda-beda. Akan tetapi, perlu digaris bawahi dalam tulisan ini bahwa pada masa kesultanan Buton, masyarakat Buton disatukan dengan bahasa Wolio (Buton). Kalaupun terjadi perbedaan bahasa antara satu suku dengan suku lainnya dalam lingkup wilayah Buton, itu hanyalah bahasa lokal. Jadi, komunikasi yang umum dipakai selalu memakai bahasa wolio tanpa melupakan bahasa lokal masing-masing.  Bukti dari itu adalah banyaknya unsur bahasa Wolio yang diserap dalam bahasa masing-masing suku itu, bahkan di beberapa tempat di Kepulauan Tukang Besi, orang yang berusia 60 tahun pada tahun 1987 masih bisa berbahasa Wolio. Generasi sesudahnya sudah jarang yang dapat menggunakan bahasa Wolio.

 

D.   Kisah mithos “Kera dengan Ayam” (Landoke-ndoke te Manu)
Kisah ini diperoleh dari hasil inventarisasi kebudayaan daerah Depdikbud RI pada tahun 1976/1977 yang telah dibukukan. Sumber dari cerita ini tidak jelas dari siapa yang menceritakan. Tentang posisi cerita ini dalam masyarakat Buton tidak jelas. Kisah lengkap cerita ini menurut versi depdikbud adalah sebagai berikut;
!1) Pada zaman dahulu, kera (Ke) dengan ayam (Ay) bersahabat karib. Pada suatu hari kera mengundang sahabatnya untuk pergi melancong. Karena sibuknya mereka melihat-lihat keindahan alam, mereka lupa petang. Dalam perjalanan, kera merasa lapar. Karena laparnya itu, kera menangkap kawannya sambil berkata: “aku akan memakan kamu”. Ayam itu menggelepar-gelepar. Semua bulunya dicabuti oleh kera. Oleh karena ayam itu kuat, maka terlepaslah ia dari tangan kera, lalu ia lari mencari sahabatnya yang lain, yakni kepiting (Kp).

(2) Ketika bertemu kepiting, ia (ayam –penulis) menceritakan hal-ikhwal kejadian yang dialaminya itu kepada sahabatnya. Dengan keheran-heranan, kepiting itu berkata: “kalau kita mencari kawan, kita harus tahu memilih mana kawan yang setia dan mana yang tidak. Marilah masuk ke dalam rumah saya ini”.
(3) Masuklah ayam itu ke dalam rumah kepiting sambil ia meminta tolong untuk mengembalikan bulunya seperti semula. Kepiting itu memandikan kawannya (ayam) dengan santan. Begitu dibuatnya setiap hari, sehingga hanya beberapa hari saja, bulu ayam itu tumbuh. Lama kelamaan bulu ayam itu tumbuh dan telah kembali seperti semula. Ayam itu lalu bertanya kepada kepiting: “bagaimanakah akalnya untuk membalas dendam kepada kera itu, sedang ia lebih tangkas dari kita”. Jawab kepiting: “kamu bantu saya membuat perahu dari tanah yang saya keluarkan dari lubangku. Bilamana sudah selesai, kamu pergi undang kera, kita menyeberang ke pulau sana yang banyak buah-buahan”.

(4) Bekerjalah mereka berdua membuat perahu dari tanah. Setelah selesai, lalu ayam pergi mencari sahabatnya, kera. Setelah bertemu, ayam mengundang kera sahabatnya untuk menyeberang pada sebuah pulau yang banyak buah-buahannya dan pemandangannya sangat indah.
(5) Kera itu bertanya: “Di manakah kita mendapat perahu untuk menyeberang?” Jawab ayam: “Nanti saya ajak kawan saya kepiting dan ia ahli di perahu”. Mendengar itu, kera sangat gembira kerena dipikirnya bahwa kalau mereka tiba di pulau itu, tentu ia akan puas memanjat dan memakan buah-buahan, sedang kawannya tentu akan kelaparan karena tidak tahu memanjat.
(6) Segera ayam menemui kepiting, sambil menyiapkan perahu yang pernah mereka buat. Kemudian memanggil kera. Dengan merasa bangga, kera melompat ke dalam perahu. Kera tidak mengetahui bahwa ayam dan kepiting sudah bermufakat bahwa kalau di tengah laut,  bilamana ada komando, akan dilaksanakan dengan diam-diam, supaya perahu bocor dan tenggelam.
(7) Maka berangkatlah mereka dengan perasaan gembira. Tiba di tengah laut, ayam itu bernyanyi-nyanyi. Demikian nyanyiannya: “Aku lubangi lho!!” Kepiting menjawab pantun temannya: “tunggu sampai dalam sekali lho!!”
(8) Lalu, kemudian ayam mulai mencontok-contok perahu itu, akhirnya perahu itu bocor, lalu tenggelam. Setelah perahu tenggelam, kepiting menyelam kedasar laut dan ayam terbang ke darat. Sial bagi kera yang tidak tahu berenang, sehingga ia mati lemas di tengah laut.

Demikian mithos La Ndoke-ndoke te Manu di kalangan masyarakat Buton Sulawesi Tenggara. Tidak jelas cerita ini sifatnya religius atau biasa saja atau malah hanya sebagai alat hiburan saja, yang dapat diceritakan kapan dan dimana saja serta oleh siapa saja. Yang jelas cerita ini masih melekat dibenak masyarakat Buton. Artinya peristiwa itu begitu menarik sehingga mudah diingat secara turun temurun.

E.              Konteks Sosial dalam Mithos Kera dengan Ayam.
Dalam banyak mithos terdapat kontradiksi-kontradiksi yang sulit diatasi yaitu tarik menarik kepentingan, berupa konflik dan berusaha membalas apa yang dialami oleh pelaku (kera dengan ayam) hadirnya pihak ketiga  (kepiting) dalam upaya penyelesaian konflik seperti pada cerita rakyat yang akan disajikan dalam makalah ini justru telah melahirkan inovasi baru sebagai hasil dari proses budaya karena adanya tekanan kebutuhan dalam rangka penyelesaian konflik dimana pihak ayam yang tidak menerima perlakuan kera yang semena-mena. Dalam kisah yang akan disajikan nanti tampak adanya superioritas dan inferioritas yang pada akhirnya inferiritas inilah yang tampil sebagai pemenang dalam rangka persaingan meskipun terjadi korban pada pihak yang superior tetapi nakal dan licik. Dalam cerita ini terlihat jelas konflik antara sesama sahabat.

Apabila mithos Ayam dan Kera ini dilihat dari perspektif itu, maka gambaran mithos itu menceritakan perjuangan Diplomasi masyarakat Buton dalam posisinya sebagai kerajaan kecil yang ingin bertahan hidup di tengah persaingan antar kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan yang terkenal ekspansif di satu sisi. Sementara di sisi lain, bantuan VOC terhadap Buton dalam mempertahankan eksistensi kerajaannya telah menghambat laju kerajaan Gowa untuk menguasai Buton pada abad ke-17. Diplomasi persahabatan yang dilakukan VOC terhadap Buton telah membantu VOC dalam mengontrol gerak-gerik kerajaan Gowa yang menguasai hampir seluruh jalur perdagangan di wilayah timur kepulauan Nusantara[17]. Pada akhirnya Gowa juga takluk pada Belanda dan berhasil menguasai jalur perdagangan Internasional di bagian timur wilayah kepulauan nusantara.

Namun demikian, seperti dikatakan sebelumnya bahwa tulisan ini ingin menganalisis cerita ini dari perspektif strukturalisme C. Lévi-Strauss, maka cerita ini akan dapat dijelaskan melalui argumen logis berdasarkan konteks dan situasi sosial masyarakat pendukungnya.

Pandangan Lévi-Strauss tentang kontradiksi dalam sebuah mithos adalah “concealed budaya means of an argument budaya analogy. The initial contradiction will be transformed into another one, which can itself be mediated. The mediation of an analogous contradiction thus ‘resolves’ the first contradiction” (1963)[18].

F.              Analisis dan Penafsiran Seperti telah dikatakan dimuka bahwa analisis yang akan dipakai dalam tulisan ini adalah memakai model analisis struktural dari Claude Lévi-Strauss seperti yang dilakukannya pada mithos Indian dan Oedipus yang berjudul “kisah si Asdiwal” dan dari empat bukunya tentang mithology. Model itu akan dipakai dengan pertama-tama memotong-motong cerita yang dianggap panjang dan terdiri dari banyak cerita. Akan tetapi jika cerita itu hanya satu, maka cerita itu bisa dianalisis berdasarkan strukturnya seperti dalam ilmu bahasa. Dengan demikian, mithos di atas  akan dianalisis dalam keseluruhan paragraf karena cerita hanya melibatkan tiga tokoh. Ini dilakukan untuk lebih memudahkan karena ceritanya tidak panjang sehingga pemotongan cerita tidak diperlukan. Kemudian cerita  akan disusun secara diakronis dan singkronis atau mengikuti sumbu sintagmatis dan paradigmatis. Seperti dalam bahasa, makna dari suatu elemen akan tergantung pada sintamagtis dan paradigmatisnya. Dengan itu akan ditemukan relasi yang atau elemen-elemen yang tidak sama.

Ketika kita membaca seluruh isi dari kisah itu, kita dapat menggambarkan cerita itu sebagai berikut:
Deskripsi mengenai tokoh-tokoh dalam cerita itu, yakni Kera, Ayam dan Kepiting.

Pada bagian ini diceritakan persahabatan antara Ayam dengan Kera yang telah terjalin lama. Konflik antar keduanya terjadi ketika keduanya pergi melihat pemandangan dan lupa kalau sudah sore dan lapar, sehingga kera yang pemalas mau makan temannya sendiri. Ayampun dengan kekuatannya yang masih tersisa berusaha melawan dan berhasil lepas dan selamat. Kera tidak berhasil memakan dagingnya.

Ayam dan Kera pergi mengembara dan Kera lapar dan sahabatnya dimakan, tetapi hanya bulunya saja.

Kontradiksi yang ada yaitu perlakuan kepiting terhadap ayam yang begitu baik, hanya karena ayam minta tolong pada kepiting yang baru saja ia kenal untuk dimandikan santan kelapa agar bulunya tumbuh, dipenuhi oleh kepiting. Bahkan dalam persahabatan itu justru terlihat lebih akrab dan berhasil mencetuskan ide untuk membuat perahu untuk menjebak Kera yang dengan iming-iming makanan. Meskipun demikian, ayam yang sudah diperlakukan dengan kasar bahkan hampir terbunuh masih mau bersahabat dengan kera dengan berpura-pura baik, namun pada akhirnya sang kera harus rela mati lemas di tengah laut lantaran tidak bisa berenang.

Apabila kita memaknai kera sama dengan pejabat kerajaan Gowa, maka jelas ada hubungannya dengan sikap bangsawan. Sikap bangsawan adalah selalu menjadi tuan dan sifatnya semena-mena. Apa yang dilakukan Ayam dengan kera adalah perjalanan antara pengawal dan yang dikawal (petinggi negeri). Jadi, ketika kera memakan ayam boleh jadi adalah simbol penjualan budak yang ramai pada abad ke-18. Seperti diketahui, Buton merupakan penyedia budak terbesar dan murah dalam sejarah perdagangan budak di Indonesia.

Lain halnya dengan ayam, yang dilambangkan dengan masyarakat setempat adalah simbol kepatuhan dan memberontak ketika jiwannya mulai terancam. Perilaku masyarakat yang sampai saat ini masih terlihat adalah diam dan tidak pernah memulai suatu persoalan.  Jadi, sifatnya adalah mengikuti, melihat sambil mencari alternatif bagaimana harus keluar dari persoalan itu. Posisi terjepit yang dialami ayam ketika kera mau memakan dagingnya adalah simbol dari perlawanan itu.

Dalam sejarah, kita mengetahui bahwa posisi Buton diapit oleh dua kerajaan besar dan satu kekuatan. Kerajaan itu adalah Gowa di Makassar dan Ternate di Maluku. Sementara Buton sendiri, pada beberapa pulaunya masih diperebutkan antar ketiganya. Dua pulau di pesisir timur Buton dikuasai oleh Gowa dan duanya lagi dikuasai Ternate. Ditengah keterjepitan itulah, kekuatan Belanda mulai terpekirkan oleh petinggi Buton untuk bersekutu. Ini dilambangkan dengan pencarian sahabat oleh ayam dan mendapatkan teman kepiting.

Belanda saat itu ternyata ingin meluaskan kekuasaannya di Indonesia Timur. Terbukti pada abad ke-19 Ambon dan Makassar berhasil dijadikan pusat birokrasinya dan kedua wilayah itu mampu mendukung perkembangan ekonomi dan politiknya. Sebelumnya, dalam rangka mengawasi Ternate dan Gowa yang terlalu tangguh itu, belanda akhirnya menjadikan Buton sebagai tempat bertahan dan tempat mengontrol kedua kerajaan besar itu. Gowa adalah kerajaan yang sulit ditaklukan. Hal ini terbukti bahwa dari kedua kerajaan itu ternate yang lebih dahulu jatuh ketangan Belanda.

Tentang tenggelamnya kera yang tidak tahu berenang juga masih merupakan kotradiksi, sebab apabila kita mengasumsikan kera adalah para pengawal kerajaan Gowa, maka tidak logis kalau mereka tidak bisa berenang, mengingat masyarakat Gowa adalah pelaut, demikian juga dengan Belanda sudah pasti dapat berenang.

G.              Daftar Pustaka  

Alala, Petembuno Lipu Posungguno: Memori Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara Masa Jabatan Kedua, 1987-1992, Kendari; Pemda Tk. I, 1992.
Anceaux J. C., Wolio Dictionary, Dordrecht: Foris Publications Holland, 1987
De Jonge J.J.P, De Waaier van het Fortuin, (Den Haag: der Uitgeverij, 1919)
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Cerita Rakyat Sulawesi Tenggara, Jakarta: Depdikbud, 1977/1978
Haliadi, “Islam Buton dan Buton Islam: Islamisasi, Kolonialisme, dan Singkretisme Agama 1873-1938”, Tesis, (Yogyakarta: Program Pasca Sarjana UGM), 2000.
Heddy Shri Ahimsa Putra, “Analisis Srtuktural Dan Makna Mitos Orang Bajo”, Laporan Penelitian, Yogyakarta : Fak. Sastra UGM, 1994/1995
Heddy Shri Ahimsa Putra, “Model-Model Linguistik dan Sastra dalam Antropologi”, dalam Buletin Antropologi, Th. IX No. 18 Yogyakarta: Perpustakaan Jurusan Antropologi Fak. Sastra UGM, 1994
Heddy Shri Ahimsa Putra, “Kata Pengantar”, dalam Octavia Paz, Levi-Strauss: Empu Antropologi Struktural, Yogyakarta: LKiS, 1997.
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi Jilid I, Jakarta : UI-Press, 1987
Lech E., Lévi-Strauss. Fontana Paper-basic, 1970
Ricklefs M. C.,  The Seen and Unseen Worlds in Java History, Literatures and Islam in the Court of Pakubuwono II, 1725-1749, Honolulu: University of Hawaii Press, 1998.
Susanto Zuhdi dan G. A. Ohorella, “Kesultanan Buton dan VOC dalam Hubungan Diplomasi Abad XVII – XVIII”, Makalah Kongres Nasional Sejarah Indonesia di Dempasar Bali, Jakarta: Depdikbud RI, 1996
Susanto Zuhdi, “Labu Wana Labu Rope, Sejarah Butun Abad XVII - XVIII “, Disertasi, Jakarta : Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1999

Catatan
[1]Periksa Heddy Shri Ahimsa Putra, “Analisis Struktural dan Makna Mithos Orang Bajo”, Laporan Penelitian, (Yogyakarta : Fakultas Sastra UGM, 1994/1995).
[2] E. Sumaryono, HERMEUNETIK, Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta : Kanisius, 1999), hlm. 106.
[3]Paul Ricoeur, The Symbolism of Evil, (Boston: Beacon Press, 1967). Periksa juga E. Sumaryono, Op. Cit. hlm. 105.
[4]Heddy Ahimsa Putra, Op. Cit, hlm. 1
[5]Ibid,
[6]Ahli Indonesia yang mencoba melakukan dan mengembangkan studi seperti ini dalam ilmu Antropologi yakni Dr. Heddy Shri Ahimsa Putra. Untuk Ahli Sejarah adalah Ricklefs dari Australia.
[7]Ibid
[8]Ibid
[9]Contoh yang dapat dijadikan perbandingan adalah cerita tentang Naskah I La Galigo (Saweri Gading) di Sulawesi Selatan, sulawesi Tenggara, dan Sulawesi tengah. Di sulawesi Selatan  Nama Saweri Gading tetap, akan tetapi di Sulawesi Tengah sudah lain tetapi mirip, yakni Sawerigadi (ng). Sedang di Sulawesi Tenggara dinamakan Batara Guru, yang konon adalah anak dari Saweri Gading, padahal struktur ceritanya hampir sama.
[10]Heddy Shri Ahimsa Putra, 1994, Op. Cit., hlm. 44-45.
[11]Periksa,  Heddy Shri  Ahimsa Putra, 1994, Op. Cit., hlm. 45
[12]Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi Jilid I, (Jakarta : UI-Press, 1987), hlm. 170.
[13]Heddy Shri Ahimsa Putra, “Kata Pengantar”, dalam Octavia Paz, Levi-Strauss: Empu Antropologi Struktural, (Yogyakarta: LKiS, 1997). Periksa Juga; Heddy Shri Ahimsa Putra, (1994) op. Cit. 
[14]Haliadi, “Islam Buton dan Buton Islam: Islamisasi, Kolonialisme, dan Singkretisme Agama 1873-1938”, Tesis, (Yogyakarta: Program Pasca Sarjana UGM), 2000. Periksa juga J.C. Anceaux, Wolio Dictionary, (Dordrecht: Foris Publications Holland, 1987), hlm. 191.
[15]Alala, Petembuno Lipu Posungguno : Memori Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara Masa Jabatan Kedua, 1987-1992, Kendari, 1992.
[16]J.J.P de Jonge, De Waaier van het Fortuin, (Den Haag: der Uitgeverij, 1919), hlm. 92.
[17]Susanto Zuhdi, “Labu Wana Labu Rope, Sejarah Butun Abad XVII - XVIII “, Disertasi, (Jakarta : Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1999); Periksa juga, Susanto Zuhdi dan G. A. Ohorella, “Kesultanan Buton dan VOC dalam Hubungan Diplomasi Abad XVII – XVIII”, Makalah Kongres Nasional Sejarah Indonesia di Dempasar Bali, (Jakarta: Depdikbud RI, 1996), hlm. 335 – 352. 
[18]Dikutip ulang dari Heddy Shri Ahimsa Putra  (1994/1995), Op. Cit. hlm. 7.
[1]Arti dari istilah itu adalah Kera dan Ayam. Cerita atau mithos ini diambil dari Buku Cerita Rakyat Sulawesi Tenggara, (Jakarta: Depdikbud, 1977/1978), hlm. 61-62.

Civilization Heritage dan Memahami Sejarah Masyarakat

“Orang tidak akan belajar sejarah kalau tidak ada gunanya”  (Kuntowijoyo, 1995; sampul).

Pengantar
Kesan umum masyarakat terhadap sejarah sebagai ilmu pengetahuan, akhir-akhir ini sama saja dengan belajar masa lalu, jauh dari kesan teknologis, bukan ilmu pengetahuan penting, menghafal tanggal dan tahun, mempelajari arca, dan tidak ada yang bisa bermanfaat dari ilmu ini. Belajar sejarah sama artinya tidak punya masa depan, ketika lulus akan sulit mendapatkan pekerjaan. Kesan tersebut muncul ketika masyarakat Indonesia mulai dilanda krisis ekonomi dan sulitnya memperoleh pekerjaan pada tahun 1980an.
            Di era pemerintahan Sukarno, sejarah menjadi sesuatu yang wajib dipelajari oleh seluruh lapisan masyarakat. Pernyataan Sukarno dengan “jasmerah” adalah bukti bahwa pemerintah pada waktu itu serius menjadikan sejarah masyarakat Indonesia yang mengalami penjajahan Belanda, “Inggris”, Jepang, dan Belanda untuk terus dipelajari. Hanya dengan mengingat dan mempelajari serta memahami sejarah bangsa Indonesia, semangat cinta terhadap tanah air (nasionalisme) agar tidak dijajah lagi dan warisan kekayaan bangsa Indonesia tidak diperintah dan dikuasai oleh bangsa lain.
            Realitas itu berbanding  terbalik dengan masa pemerintahan Suharto, khususnya ketika pada era Menteri Pendidikan Fuad Hasan. Kondisi yang parah juga terjadi di era pemerintahan presiden Habibie dengan “mau menghilangkanmata pelajaran sejarah”  di sekolah SD – SMU. Pelajaran sejarah di era Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kembali mendapat angin segar, meskipun pengurangan jam pelajaran sejarah masih terjadi di level pendidikan menengah.
           Tulisan ini menguraikan tentang cara bagaimana memahami masyarakat dan alam sebagai laboratorium ilmu pengetahuan, termasuk ilmu sejarah. Jika sejarah dipahami sebagai sejarah masyarakat, maka seharusnya sejarah kampung, sejarah kota, sejarah para tukang becak, pemulung, gelandangan, penjudi, anak-anak, saksi mata dari rakyat kecil, dan sebagainya juga harus ditulis. Mereka memiliki sejarah dan masa lalu yang berbeda dengan masyarakat lainnya. Proses mereka menjadi tukang sapu, tukang becak, gelandangan, pemulung, pengemis adalah bukan pilihan hati mereka sebenarnya. Oleh karena itu, belajar dari kehidupan mereka sama artinya dengan belajar riwayat hidup (biografi). Biografi adalah salah satu unsur penting dalam ilmu pengetahuan sejarah. Jadi tidak ada alasan bahwa sejarah itu membosankan, serba masa lalu, serba patung, dan sulit untuk dimengerti serta sulit diingat karena sejarah selalu dihafal.
         Berkaitan dengan itu, warisan peradaban masyarakat Indonesia yang masih ada mestinya terus dijaga kelestariannya agar tidak punah/hilang dan tetap menjadi pelajaran bagi generasi muda di masa kini dan yang akan datang. Rasa cinta terhadap hasil cipta dan karya generasi sebelumnya dari masyarakat bangsa ini harus dipahami sebagai warisan budaya yang nilainya tinggi. Dengan segala keterbatasan mereka mampu mempersembahkan kemerdekaan dan peradaban yang nilainya tidak terhingga. Kemerdekan diraih dengan proses panjang berupa perjuangan sejak masa kerajaan, penjajahan Belanda, dan Jepang. Semangat nasionalisme mengalahkan semangat kedaerahan untuk mencapai negara kesatuan Indonesia. Berbagai simbol pemersatu pun digagas dan terus dipikirkan agar tali perekat bangsa yang sangat majemuk bisa menjadi satu kesatuan. Simbol perekat itu antara lain, Proklamasi, bahasa Indonesia, Bendera Merah Putih, Lagu Kebangsaan Indonesia Raya, Sumpah Pemuda (Pancasila dan UUD 1945).

Warisan Peradaban dan Memahami Sejarahnya
Sejarah Indonesia memberikan catatan kepada kita tentang adanya hubungan/interaksi dengan kelompok sosial lain di dunia. Akibat dari hubungan itu adalah lahirnya budaya dan peradaban baru yang berwujud seperti bangunan sebagai symbol peradaban yang survive. Di jaman prasejarah kita diberi pengetahuan tentang kapak dan perunggu, kerajinan, dan cara bercocok tanam dengan system berpindah-pindah (agraris). Di jaman sejarah kita sudah diberi warisan tentang tulisan, ilmu pengetahuan, pengetahuan tentang tuhan yang Esa. Kita diwarisi Vihara, Klenteng, Candi, Masjid, dan bangunan yang bersifat religius. Di era perjuangan, kita diwarisi nasionalisme, rasa kecintaan terhadap tanah air dan bangsa karena tidak ingin diperlakukan seperti di jaman penjajahan yang serba dibatasi dan tidak diberi ruang peran yang lebih luas oleh penguasa atau pegawai birokrasi yang mayoritas orang Eropa. Untuk mengingatkan kita pada era itu, maka dibangun monument perjuangan seperti monument Polisi Istimewa, Tugu Bambu Runcing, Monumen Trip, Patung para pejuang, patung (tugu) tani. Benda sebagai symbol itu senantiasa berfungsi sebagai pengingat agar kita selalu menghargai dan menghayati arti penting peranan mereka dalam kehidupan social sebagai bagian dari proses perjalanan panjang sebagai sebuah Negara yang utuh.
            Di Era Hindu Budha kita diwarikan Candi Prambanan, candi Pantaran, candi Borobudur, candi Kalasan, dan masih banyak lagi candi yang lain. Candi itu sebenarnya telah mengatakan kepada kita bahwa kondisi masyarakat pada masa candi itu diciptakan, kondisi masyarakatnya masih menyembah Dewa atau Sang Hyang. Lebih dari itu, kita bisa memahami bahwa masyarakat pada era itu belum mengenal semen. Sumbagan penting mereka adalah bidang arsitektur yang sudah mengagumkan serta seni ukir dan bentuk yang sudah sangat tinggi. Komunitas sosial mereka memperhatikan aspek religius.
             Klenteng sebagai bangunan umat Kong Hu Cu (Tionghoa) menjadi petanda tempat sakral untuk umat melakukan hubungan dengan sang Pencipta. Masyarakat memperoleh ketentraman ketika beribadah di dalam Klenteng. Fungsi Klenteng tidak sekedar tempar ritual beribadah, tetapi bisa berfungsi sebagai tempat orang berefleksi akan kebesaran dan kemurahan rejeki tuhan. Klenteng kemudian menjadi magnet luar biasa menari orang untuk datang dan meminta apa yang diinginkan.
            Pada masa perkembangan agama Islam, warisan terbesar adalah agama dan bangunan Masjid sebagai tempat umat ini beribadah kepada yang Maha Esa. Agama ini telah mampu mempengaruhi masyarakat. Semangat perdagangan dan luasnya jangkauan mereka hingga ke pedalaman telah mampu mempengaruhi sebagian besar masyarakat Indonesia memeluk Islam. Perilaku dan kebiasaan sehari-hari pun ikut dipengaruhi oleh tradisi Islam. Kebiasaan makan, sholat, adat, dan sebagainya ikut berubah setelah mengalami proses yang panjang. Tradisi lama sebagian besar hilang kecuali beberapa hal yang sulit karena telah mengakar dalam budaya kita seperti sesajen, tingkeban, dan upacara lain. Bukti singkretisme budaya yang dipraktekan itu dapat dijumpai pada lafal mantra yang pada pembukaan didahului dengan bismillah lalu isi berbahasa lokal dan diakhiri dengan alhamdulillah Bismillah.
           Konversi agama dari Hindu Budha sedemikian cepat dilakukan ke Islam dan mampu survive. Budaya-budaya seperti terus mengalami perubahan seperti tempat sesajen mulai tergantikan ketika daen pisang dan bambu mulai terbatas, yang digantikan dengan bahan plastik dan kertas minyak. Pad tataran isi pun mengalami perubahan ketika orang mulai berpikir praktis. Dahulu orang melengkapi isi sesajen dengan apem, kue tradisional, sekarang diganti dengan Indomie, gula, dan roti yang sudah siap di pasaran. Kapan itu mulai berubah dan kondisi sosial yang bagaimana proses perubahan itu terjadi? Bagimana nilai sakral yang dahulu dipuja? Apakah makna kesakralan itu mulai mengalami perubahan?
            Dalam sejarah peradaban dunia seperti yang terjadi di Mesopotamia dan Tigris juga telah mewariskan pengetahuan bagaimana cara manusia menghadapi tantangan alam. Jika banjir, maka solusinya adalah membangun saluran air (irigasi). Jika kota sebagai mulai dirasa tidak aman dari berbgai ancaman dari luar seperti ancaman ekspansi dan serangan dari negara lain, masyrakat Mesopotamia membangun benteng sebagai pelindung masyarakat sehingga kota menjadi kota Benteng. Ini yang dilakukan Portugis di Banda dan Belanda di Batavia pada abad XVI-XVII. Jika hasil alam mulai terbatas dan kebutuhan masyarakat tidak lagi dipenuhi oleh daerah sendiri, maka jawabannya adalah melakukan perdagangan (trade)/interaksi dengan daerah/negara lain untuk mendapatkan kebutuhan tersebut.

Belajar dari  Sejarah Masyarakat: Sejarah Singkat dan Monumen Peta di Blitar
Jika sejarah dipahami secara benar maka sejarah sama dengan cermin. Sejarah memberikan contoh yang baik dan buruk. Sejarah memberikan gambaran kehidupan sedih dan senang. Orang lain tidak mabuk-mabukan jika ia tahu kalau mabuk itu merugikan. Orang lain tidak akan coba-coba memakai narkoba, jika akibatnya merusak diri, organ tubuh dan berujung pada penyakit yang berkepanjangan. Orang tidak sekali-kali akan jajan di lokalisasi jika berujung pada lahirnya penyakit HIV/AIDS yang menular pada anak dan keluarganya. Orang tidak akan melakukan perang jika tahu akibatnya merugikan seluruh elemen masyarakat, dan sebagainya.  Sejarah adalah cermin kebajikan jika peristiwa yang terjadi sebelumnya dipahami. Itu adalah sebagian contoh sejarah yang harus terus dipahami sebagai cermin ketika seseorang akan melakukan tindakan tertentu. Contoh yang lain adalah perkembangan ilmu pengetahuan saat ini tidak lepas dari ilmu-ilmu dasar yang ada sebelumnya. Angka romawi, huruf latin, ilmu kesehatan dan pengobatan tidak lepas dari warisan pengalaman bathin orang-orang sebelum kita. Pengobatan dengan bahan alami (dari tumbuh-tumbuhan dan hewan) adalah warisan sejarah yang kemudian dikembangkan oleh ilmu farmasi.

Jadi belajar sejarah tidak ada ruginya karena akan menjadi dasar yang kokoh bagi tindakan dan perilaku kita dalam kehidupan. Sejarah adalah ilmu yang menjadi pangkal untuk memahami seluruh kehidupan manusia beserta peradaban yang sebenarnya. Belajarlah dari sejarah karena ia adalah guru yang akan membawa manusia kepada kearifan dan kebajikan. Menurut Prof Dr Djoko Suryo ada banyak nilai dan pelajaran yang bisa diambil dari sejarah perjalanan kehidupan manusia. Kalau orang mempelajari sejarah, berarti ia sedang mempelajari manusia dari segala dimensinya. Manusia yang sebenarnya itu lahir, hidup, berkembang, dan menghadapi perjalanan hidup, mengalami tantangan, dan bisa mencapai keberhasilan, tetapi juga bisa mengalami kegagalan. Dari situlah seluruh pelajaran hidup tersimpan.

Pelajaran dari sejarah bisa ditarik makna dan nilainya sesuai apa yang manusia inginkan. Banyak hal yang bisa dipetik dari contoh-contoh pengalaman masyarakat masa lampau. Dari peperangan, bencana, ataupun perusakan lingkungan hingga mengakibatkan hancurnya peradaban masa lampau.

Kita bisa memilih mana yang patut kita lakukan dan ditinggalkan karena tidak perlu ditiru.  Kita juga bisa melihat apa yang dilakukan masyarakat sekarang dan bagaimana usaha melahirkan masyarakat masa depan, masyarakat seperti apa yang akan kita ciptakan. Sejarah mengajarkan proses kehidupan manusia dalam tiga dimensi yaitu masa lalu, masa sekarang, dan melihat sejarah masa depan dari sejarah masa lalu.

Saat ini ada kecenderungan orang melihat masa kini dan melupakan sejarah, bahkan dari sejarah pribadinya sekalipun. Orang pun menjadi tidak berpikir akan sejarah masa depan. Orang kini digoda oleh kekinian saja. Apa yang sekarang sedang tren. Mereka menjadi terbius, sehingga masa depan tidak terpikirkan. Akibatnya, orang merencanakan sesuatu hanya seadanya saja. Komputer, Hand Phone dan internet adalah contoh paling nyata, betapa kita salah menyalahgunakan. Meskipun demikian, ada banyak pelajaran sejarah yang harus dipahami dari kedua sarana teknologi canggih itu. Komputer bisa kita gunakan untuk merekayasa foto orang lain melalui software, HP berkamera kita gunakan untuk hal-hal yang bertentangan dengan etika (video...) dan digunakan untuk menipu orang tua dan orang lain. Internet digunakan untuk berjudi dan menipu banyak orang.

Saat ini sejarah kehidupan tersingkirkan. Manusia masa kini, cenderung kesulitan bahkan tidak bisa lagi merenung karena cepatnya perubahan zaman yang serba pragmatis. Anak-anak muda pun tidak sempat lagi merekam, merenungkan, dan merefleksikan apa yang sudah terjadi, sehingga orang cenderung cepat saja melupakan yang sudah terjadi. Peristiwa cepat lewat dan tergantikan peristiwa baru sehingga tidak sempat melihat apa yang sudah terjadi. Situasi itu mengakibatkan kita tidak mampu melahirkan pengetahuan dan pemahaman dari masa lampau. Akhirnya, kita tidak bisa belajar dari sejarah. Generasi muda kurang memiliki ruang dan kesempatan untuk berimajinasi. Yang ada hanya ingin serba cepat tanpa proses (seperti indomie, serba instant). Akhirnya, hanya menjadi pemakai dan pengekor teknologi. Untuk itulah, ruang untuk menjadi kreatif itu yang perlu dibangun, termasuk ruang untuk berimajinasi. Sebuah ruang yang banyak dimiliki masa lampau masyarakat dalam segala aspeknya. Sejarah telah mengajarkan, maka belajarlah dari sejarah.

Dalam konteks itu, sebenarnya bidang ilmu-ilmu humaniora termasuk ilmu sejarah berperan penting, terutama dalam menjelaskan perubahan itu kepada masyarakat. Menurut Kuntowijoyo, sejarah yang demikian kompleks dan upaya memandu masyarakat memahami sejarah bangsa dan masyarakatnya harus dijelaskan oleh sejarawan sehingga negara tidak akan dirugikan dalam mendidik para sejarawan pada masa kini.  Kuntowijoyo juga mewariskan pengetahuan bahwa menulis sejarah itu bisa dilakukan oleh siapa saja, tidak harus ditulis oleh mereka yang terdidik dibangku akademik dalam disiplin sejarah. Ilmu Humaniora penting dipelajari, di samping mempelajari ilmu yang canggih-canggih. Ilmu science itu kan muncul dari basis peradaban dan basis kebudayaan. Basisnya dulu adalah humaniora dan melalui itulah manusia memiliki kemampuan berpikir, berkreasi, bercita-cita, dan berimajinasi, maka tumbuh penciptaan. Oleh karena itulah, humaniora tetap memegang peranan penting sebagai ilmu dasar dari ilmu pengetahuan (filsafat). 

Taufik Abdullah mengatakan bahwa seseorang belajar sejarah adalah untuk memahami masa kini dan melihat masa depan. "Jadi bukan semata untuk mempelajari masa lalu saja," ujarnya. Lebih jauh Azyumardi Azra menjelaskan, sejarah adalah suka dan duka. Sejarah adalah senyum dan tangis. Sejarah adalah selebrasi kejayaan, tapi juga ada keterpurukan. "Di sinilah sejarah sesungguhnya sangat manusiawi. Sejarah -- seperti anak manusia itu sendiri -- selalu penuh cerita suka dan duka, dan karena itu mengakui adanya suka dan duka adalah bagian dari eksistensi manusia itu sendiri". selengkapnya. Objek dan Penelitian Sejarah



maaf kami sedang dalam mengembangkan web ini, terima kasih atas kunjungan anda
website editing by Rabani Unair